Training is Good, but What Training is Needed?

oleh: Sholehudin Adi Nugroho/ Mahasiswa PKN STAN 2016

training

http://renegadegolftraining.com/tapping-into-your-peak-golf-mind-state/

 

Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi penghimpun penerimaan dari sektor perpajakan di negeri ini memiliki indikator kinerja utama (biasa disingkat IKU) dalam tiap kontrak kinerja pejabat-pejabatnya yang nyaris tidak pernah tidak tercapai yaitu jumlah jam latihan yang dienyam oleh masing-masing pegawai di tubuh Direktorat Jenderal Pajak. Penentuan IKU ini bukanlah hal yang sembarangan dan diputuskan seketika akan tetapi melalui rapat-rapat panjang dan pemikiran mendalam yang dimaksudkan mengerucut pada tujuan utama institusi ini yaitu tercapainya penerimaan. Lantas, dengan “cukup” nya pelatihan yang diberikan kepada pegawainya, kenapa target penerimaan pajak melulu tidak tercapai?[1]

Peraturan perpajakan dikenal sebagai peraturan yang ruwet dan membutuhkan pemahaman serta pembelajaran yang cukup. Sekelas IRS (Internal Revenue Service) saja yaitu badan penghimpun perpajakan di Amerika Serikat pun mengakui demikian. Wajib Pajak akan merasa terganggu manakala ketika mengkontak pegawai IRS atau DJP dirinya tidak mendapat jawaban serta pelayanan yang memuaskan [2]. Saat itu adalah masa dimana pemerintah Amerika Serika tidak mempunyai dana yang cukup untuk men-training pegawai pajaknya secara memadai. Pada akhirnya memang wajib pajak yang kecewa dan tidak mengetahui informasi perpajakan secara utuh akan kurang bisa memenuhi kewajiban perpajakannya atau cenderung tidak patuh yang berimbas pada penerimaan perpajakan secara keseluruhan.

Pernyataan mengenai training ini dikuatkan pula oleh  penelitian yang dilakukan oleh Nunung Nurhayati, Elly halimatusadiah, Diamonalisa dan dituangkan dalam jurnalnya berjudul Influence of tax officer service quality and knowledgeof tax on individual taxpayer compliance in tax office (KPP) Bojonagara Bandung yang menyatakan sebagai berikut:


There is a significant influence of tax officer servicequality on taxpayer compliance. This indicates that the service quality provided by tax officers to tax payers is an important matter in providing satisfaction and it will cause tax payers to fulfill their obligation on time. The influence of quality service on individual tax payercompliance is at 61.7%.[3]

 

Kualitas daripada tax officer atau fiscus ini didapatkan salah satunya melalui training baik itu formal maupun informal. Penelitian lain yang memperkuat statement korelasi postif pelatihan dan penerimaan juga dtunjukan oleh Vito Tanzi and Anthony Pellechio yang menyatakan bahwa kesuksesan administrasi perpajakan (yang ditandai dengan tercapainya target penerimaan) hanya bisa terwujud manakala di dalamnya terkandung 6 (enam) unsur yaitu: komitmen politik yang berkesinambungan dan jelas, sebuah tim yang mampu, bekerja keras,dan berdedikasi terhadap reformasi perpajakan, strategi yang baik dan memadai, tambahan sumberdaya, insentif baik untuk wajib pajak maupun fiskus, dan elemen yang terakhir adalah training yang relevan bagi fiskus[4]

 

Setelah training atau pelatihan terbukti berkorelasi positif, lantas kenapa pertanyan di awal essay ini bahwa tercapainya IKU jam pelatihan pegawai tidak serta merta menjamin tercapainya penerimaan? mengutip pada penelitian Tanzi dan menambahkan ceteris paribus pada variabel lain semisal inflasi, bencana alam, lesunya perekonomian dan sebagainya maka yang benar-benar diperlukan adalah training yang relevan. Ada kemungkinan bahwa program-program training yang disyaratkan dalam kontrak kinerja belum mensyaratkan secara spesifik training apa saja yang benar-benar cocok dan diperlukan terkait penerimaan dan juga  IKU yang ada sekarang memungkinkan orang mengikuti training apa saja asalkan jamlat-nya tercapai. Menutup essay ini dan mengutip kata-kata Tanzi : “apabila orang ingin memenangkan lari marathon dan ia malah berlatih lari atletik mungkin saja latihan itu bermanfaat, akan tetapi bukan untuk memenangkan lari maraton tersebut.”[5]

Referensi:

[1] http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/09/12/117199/wah-12-tahun-target-pajak-tak-tercapai-kok-bisa-pak-dirjen/
[2] John Koskinen(2013).EMPLOYEE TRAINING: The Drastic Reduction in IRS Employee Training Impacts the Ability of the IRS to Assist Taxpayers and Fulfill its Mission). Taxpayer Advocate Service — 2013 Annual Report to Congress. Vol.1
[3] Nunung Nurhayati, Elly halimatusadiah, Diamonalisa.(2015).Influence of tax officer service quality and knowledge
of tax on individual taxpayer compliance in tax office (kpp) Bojonagara Bandung. International Journal of Applied Research
[4] Vito Tanzi and Anthony Pellechio(1995). The Reform of Tax Administration.IMF Fiscal Affairs Department
[5] op. cit
Posted in Uncategorized | Leave a comment

Tahun Penegakan Hukum Pajak 2016, Efek Deteren demi Peningkatan Penerimaan Perpajakan ataukah Berefek Sebaliknya?

oleh: Sholehudin Adi Nugroho/ Mahasiswa PKN STAN 2016

 

 

index

 

Demi menjalankan tugas pokok dan fungsi (Tupoksi), Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sebagai institusi penghimpunan penerimaan di negeri ini, telah mengambil suatu road map demi peningkatan penerimaan perpajakan dimulai dengan pencanangan Tahun Pembinaan Wajib Pajak di tahun 2015 kemarin, yang kemudian dilanjutkan oleh Tahun Penegakan Hukum Pajak di tahun 2016 ini. Di tahun 2015 lalu, wajib pajak diberikan kemudahan untuk memperbaiki laporan pajak sebelum tahun 2015 sekaligus menyetorkan kekurangan pajaknya. Untuk memperkuat hal ini, Direktorat Jenderal Pajak juga berupaya mengintensifkan imbauan, sosialisasi dan konseling, yang mana akan lebih memastikan Wajib Pajak secara sukarela membetulkan laporan pajaknya. Wajah berbeda akan ditunjukan oleh Direktorat Jenderal Pajak di Tahun 2016. Pada tahun ini, telah dicanangkan sebagai Tahun Penegakan Hukum Wajib Pajak dan dengan adanya hal ini mengakibatkan fasilitas-fasilitas yang telah diberikan sebelumnya di tahun 2015 tidak bisa digunakan kembali dan berganti pada usaha-usaha yang berfokus pada peningkatan penegakan hukum. Dengan demikian, bagi wajib pajak yang tidak melakukan kewajiban perpajakannya dengan benar akan dilakukan pemeriksaan menyeluruh terhadapnya dan jika ditemukan unsur-unsur yang merugikan keuangan negara akan dilakukan penyelidikan dan penyidikan. Hal ini didukung pula dengan MoU yang telah ditandatangani antara DJP dengan Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun), Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus), Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel), Badan Reserse Kriminal Polri (Bareskrim), Badan Pertanahan Nasional (BPN) dalam usaha penegakan hukum ini. Selain itu DJP akan memperluas tugas Pemberantasan Faktur Pajak Fiktif, yakni faktur pajak yang dibuat tidak atas transaksi yang sebenarnya dan dukungan penuh dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk memperkuat basis data guna mengawasi laporan pajak Wajib Pajak. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah tahun penegakan hukum wajib pajak ini efektif dalam meningkatkan penerimaan perpajakan ataukah menjadi bumerang yang pada akhirnya menjadikan masyarakat antipati dan memilih untuk memberontak dan tidak melaksanakan kewajiban perpajakannya?

Allingham dan Sandmo pada artikelnya yang berjudul Income Tax Evasion: A Theoritical Analysis berpendapat bahwa jika wajib pajak menyadari betul bahwa sekalinya mereka ketahuan melakukan penggelapan, dan seluruh masa lalunya akan diinvestigasi maka ia akan menjadi wajib pajak yang taat ketika awal mula kesadaran ini datang dan akhirnya akan melaporkan segalanya[1]. Dalam kaitannya dengan Tahun Penegakan Hukum Wajib Pajak ini adalah memberikan suatu insurance atau jaminan bahwa tangan-tangan pemeriksaan ini akan menjangkau secara efektif kepada wajib pajak sehingga wajib pajak yang selama ini melakukan penggelapan dan tidak tertangani dengan baik akan terbangunkan dari tidur panjangnya dan timbul kesadaran, bahwa apa yang ia lakukan saat ini maupun masa lalu akan dapat terungkapkan semuanya apabila ia tidak segera melakukan kewajiban perpajakannya dengan baik. Lebih lanjut, Allingham dan Sandmo menjelaskan bahwa yang dapat meng-counterpart tendensi wajib pajak untuk melakukan penggelapan adalah perbaikan tarif pajak, sanksi, dan peningkatan belanja negara untuk pemeriksaan pajak. Dengan demikian,sebagai solusi pula hal-hal ini dapat ditambahkan dalam agenda  Tahun Penegakan Hukum Wajib Pajak 2016.

Terkait sanksi yang diberikan pada Tahun Penegakan Hukum Wajib Pajak ini, sanksi apakah yang efektif dalam menanggulangi pelanggaran kewajiban perpajakan yang terjadi? Gary S. Becker dalam essay-nya berjudul Crime and Punishment: An Economic Approach menyebutkan bahwa denda merupakan sanksi yang memiliki keuntungan dibanding jenis-jenis sanksi lain seperti penyanderaan, pemenjaraan, pembebasan bersyarat dan sebagainya. Hal ini dikarenakan sanksi berupa denda akan menghemat anggaran karena tidak akan dikeluarkan uang dalam rangka penyediaan penjara, gaji sipir, gaji polisi dan sebagainya sehingga akan menghemat APBN dan denda ini dapat mengkompensasi kerugian masyarakat akibat pelanggaran yang telah dilakukan[2]. Tentu saja, apabila pelanggar ini tidak memiliki dana untuk membayar denda tidak serta merta ia akan dibebaskan akan tetapi hukuman bagi pelanggar tersebut akan berubah jenisnya. Bisa berbentuk penyanderaan, penyitaan, ataupun pemenjaraan.

Dalam Tahun Penegakam Hukum Pajak 2016 juga akan diberlakukan suatu fitur bernama Tax Amnesty. Penelitian oleh James Andreoni, Brian Erard dan Jonathan Feinstein yang dituangkan dalam Journal of Economic Literature berjudul Tax Compliance menunjukan bahwa Tax Amnesty yang dilakukan di negara Amerika Serikat di tahun 1980an berhasil mendongkrak penerimaan akibat wajib pajak yang tidak patuh secara sukarela membayarkan pajaknya walau dengan denda bunga demi menghindari tuntutan pidana dan penalti. Walau demikian, dalam jangka panjang Tax Amnesty ini akan dipandang sebagai pelemahan penegakan hukum dan justru memiliki efek kontradiktif terhadap kepatuhan dan penerimaan perpajakan. Hal ini secara nyata telah terjadi di negara India yang memberlakukan Tax Amnesty secara berulang-ulang[3]. Dengan demikian, dalam Tahun Penegakan Hukum ini, Tax Amnesty haruslah dipandang sebagai strategi jangka pendek alih-alih jangka panjang berkaca pada pengalaman negara-negara lain yang telah melakukannya sebelumnya.

Hal-hal yang telah disebutkan di atas, sebenarnya bermuara pada usaha-usaha untuk meningkatkan probably of being detected. Studi yang dilakukan oleh James Alm, Gary H. McClelland dan William D. Schulze dan dituangkan dalam artikel berjudul Why Do People Pay Taxes menyebutkan bahwa di negara Amerika Serikat, peningkatan pada probably of being detected dan peningkatan sanksi terbukti secara efektif dapat menjadi efek penggentar bagi wajib pajak yang berniat akan melakukan penggelapan pajak. Sekalipun demikian, dalam studi tersebut juga dijelaskan bahwa sebenarnya begitu banyak faktor lain yang bisa dimodifikasi untuk mengurangi tendensi penggelapan pajak, salah satunya seperti penyediaan fasilitas hasil pembangunan pemerintah yang berkualitas yang dinikmati oleh wajib pajak dapat menyebabkan wajib pajak secara sukarela membayarkan pajaknya dan menimbulkan kesadaran bahwa pajak yang mereka bayar dapat mempengaruhi wajib pajak yang lain untuk turut serta  berkontribusi[4]. Dengan demikian, dalam hal peningkatan penerimaan perpajakan ini tidak melulu oleh penegakan hukum demi penegakan hukum saja akan tetapi perbaikan fasilitas pemerintah juga dapat menjadi agenda yang bisa ditambahkan.

Menutup essay ini, Tahun Penegakan Hukum Pajak memang dimaksudkan untuk meningkatkan kepatuhan dan penerimaan perpajakan lalu penelitian maupun studi sebelumnya pun sudah membuktikan bahwa penegakan hukum ini dapat memenuhi tujuan yang telah diutarakan tersebut. Selain pengintensifan pemeriksaan, agar semakin memberikan hasilnya, agenda yang bisa ditambahkan dalam tahun penegakan hukum pajak ialah perbaikan tarif pajak, sanksi, dan peningkatan belanja negara untuk pemeriksaan pajak. Terkhusus sanksi, pemilihan jenis sanksi denda daripada sanksi lain dapat dipertimbangkan agar penerimaan perpajakan semakin optimal. Kesemuanya ini, baik pemeriksaan pajak, perbaikan tarif pajak, sanksi, dan peningkatan belanja negara untuk pemeriksaan pajak dimaksudkan untuk meningkatkan probably of being detected yang berujung pada peningkatan penerimaan pajak. Selain faktor-faktor ini, agar Tahun Penegakan Hukum ini mampu memberikan hasil yang semakin mantap haruslah dibarengi dengan peningkatan pembangunan nasional sehingga kedepannya target pajak bisa tercapai dan dapat meningkatkan kemakmuran bangsa Indonesia. Semoga.

 Referensi:

[1] James Alm., Gary H. McClelland, dan William D. Schulze, G. Allingham dan Agnar Sandmo, “Why Do People Pay Taxes?”, Journal of Public Economics, (1992), 21-38.
[2] Gary S. Becker, “Crime and Punishment: An Economic Approach,” Journal of Political Economy Vol. 76, No. 2, (Maret – April, 1968), 169-217.
[3] James Andreoni, Brian Erard dan Jonathan Feinstein, “Tax Compliance,” Journal of Economic Literature Vol. 36, No.2, (Juni, 1998), 818-860.
[4] James Alm., Gary H. McClelland, dan William D. Schulze, G. Allingham dan Agnar Sandmo, “Why Do People Pay Taxes?”, Journal of Public Economics, (1992), 21-38.
Posted in Uncategorized | Leave a comment

Karena Mempelajari Pajak adalah Sama Saja dengan Usaha Mengalahkan Einstein

oleh: Sholehudin Adi Nugroho/ Mahasiswa PKN STAN 2016

 

einstein

Quote di atas adalah quote yang sering sekali didengung-dengungkan oleh masyarakat ketika merasa desperate ketika mempelajari pajak. Quote oleh seorang ilmuwan terkemuka yaitu Albert Einstein, Ilmuwan luar biasa dengan IQ tinggi yaitu antara 160 s.d. 190 (bayangkan dengan rata-rata manusia yang hanya 110 s.d. 120) dengan segudang penemuan yang sampai sekarang belum ada ilmuwan yang mampu menandinginya mulai dari teori relativitas, gerak brown, efek fotolistrik sampai bom atom yang menjadi penentu Amerika Serikat dalam memenangkan perang pasifik. Tanpa Einstein, Amerika Serikat mungkin tetap saja memenangkan perang atas Jepang akan tetapi dengan korban yang berdarah-darah akibat fanatisme penduduk Jepang kepada Kaisarnya. Dengan segudang prestasi ini, amatlah mencengangkan apabila Einstein yang super jenius ini kebingungan dalam memahami Pajak, sebenarnya, bagaimanakah konstruksi dari penelitian yang dilakukan atas pajak ini?

Shevlin dalam Jurnalnya berjudul: “The Future of Tax Research: From an Accounting Professor’s Perspective” menyatakan bahwa penelitian empiris dari pajak adalah bermaksud untuk menjawab pertanyaan Apakah Pajak itu penting atau tidak? Jika tidak alasannya kenapa? dan Jika penting, seberapa penting.

Pertanyaan ini memang bagi orang awam kelihatannya tidaklah terlalu penting karena sudah jelas jawabannya, akan tetapi hal ini tidaklah mutlak benar karena menurut Shevlin peneliti sebelumnya belumlah menggali secara dalam tentang jawaban atas pertanyaan itu sehingga Shevlin pun berusaha mengurai benang kusut ini melalui pendekatannya pada Scholes-Wolfson framework, kemudian menggunakannya untuk analisis all tax dan all cost sehingga mampu memberikan pemahaman komprehensif  berupa jawaban yang memadai atas pertanyaan yang diajukan awal tadi. Harapannya pembaca dapat memahami pajak dengan tepat.

Lain Shevlin, lain pula hanlon. Ilmuwan perpajakan ini dalam artikelnya berjudul “A review of tax research” berusaha menjelaskan bahwa penelitian pajak harus mengintegrasikan antara penelitian yang bersifat teoritis dan empiris dari berbagai kecabangan ilmu seperti akuntansi, ekonomi dan keuangan. Shevlin hanya membataskan dirinya pada akuntansi dan inilah yang coba disempurnakan oleh Hanlon.

Peneliti pajak lainnya yang berusaha memperbaiki Shevlin perihal bagaimana seharusnya pajak diteliti adalah Edward L. Maydew, akademisi dari Kenan-Flagler Business School, University of North Carolina. Maydew berpendapat bahwa pendekatan mikroekonomik dalam meneliti pajak sebagaimana dinyatakan oleh Shevlin dapat lebih dikembangkan lagi mengingat dalam ilmu mikroekonomi sendiri juga sifatnya multidisiplin , sehingga seharusnya kombinasi mikrokenomi, keuangan, dan keuntungan komparatif akuntan (dalam hubungannya DJP dan faktor akuntansi  yang dijalankan DJP) dapat diterapkan dalam melakukan penelitian pajak. Clausing, dalam jurnalnya berjudul “The Future of the Corporate Tax” bahkan makin menspesifikan batasan penelitian pajak yaitu dikaitkan dengan ketidakseimbangan APBN dalam jangka panjang, kesenjangan ekonomi, kesenjangan antarnegarabagian di Amerika Serikat dan peningkatan ekonomi global yang nantinya akan berimbas capital taxation dan corporate tax.

Pada akhirnya, dalam artikelnya yang berjudul “Empirical tax research in accounting: A discussion” Maydew menyimpulkan bahwa masih terdapat potensi lapangan penelitian yang luas bagi para ilmuwan sehingga nantinya pajak dapat lebih di pahami khalayak. dan dengan demikian memang masih perlu dicari banyak jalan penelitian agar pajak semakin mudah dimengerti sebagaimana harapan Maydew ini dan quote Einstein yang selalu didengung-dengungkan ini pun menjadi tidak populer dan usang dengan sendirinya. Semoga.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Corporate Social Responsibility (CSR) dan Pajak

oleh: Sholehudin Adi Nugroho/ Mahasiswa PKN STAN 2016

 

o-CORPORATE-SOCIAL-RESPONSIBILITY-facebook.jpg

 sumber: http://www.brandhook.com/keeping-a-lidl-on-corporate-social-responsibility/

Chapple, Wendy, & Moon Jeremy berusaha meneliti pengungkapan CSR yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan di negara-negara Asia. Riset ini tercantum dalam jurnal berjudul “Corporate Social Responsibility (CSR) in Asia: A Seven Country Study of CSR Web Site Reporting. Business and Society” yang mana hasilnya Indonesia berada di peringkat terbawah dalam pengungkapan CSR nya dibanding negara sampel lain seperti  India,  Malaysia, Philipina, Korea Selatan, Singapura dan Thailand. Pun, tax ratio Indonesia (yang dihitung dengan cara penerimaan perpajakan dibagi Gross Domestic Product) selama ini dikenal amat rendah, hanya berkisar di angka 17%-an, jauh lebih rendah dibanding negara-negara tetangganya. Apakah tax ratio ini berhubungan dengan tingkat disclosure CSR? Kemudian, mengingat ada perusahaan di Indonesia yang melakukan Tax Avoidance amat agresif akan tetapi dermawan dalam melakukan CSR dan ada pula yang sebaliknya maka pertanyaan tambahan selanjutnya dan berhubungan dengan pertanyaan sebelumnya adalah, apabila harus memilih salah satunya mana yang lebih baik?

Menjawab pertanyaan ini, ada dua teori yang bisa dikaitkan dengan kondisi di atas yaitu legitimate theory dan shareholder theory. dalam pandangan legitimate theory, CSR merupakan bentuk cara mendapatkan legitimasi dari masyarakat, adapun dalam shareholder theory, Stakeholder atau pemangku kepentingan adalah fokus dari shareholeder theory[1] Dengan demikian, sebagaimana dikatakan oleh Avi Yonnah, karena CSR sendiri adalah sebuah aktivitas bisnis yang legitimate (cara untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat) perusahaan harus bertanggungjawab secara sosial untuk mengurangi usaha tax avoidance-nya[2] jadi disini perusahaan bukan sekedar berusaha menekan cost demi kepentingan shareholder saja. Senada dengan pendapat Yonah, peneliti lain yaitu Porter and Kramer 2006 menyatakan:

“…The mutual dependence of corporations and society implies that both business decisions and social policies must follow the principle of shared value. That is, choices must benefit both sides. If either business or a society pursues policies that benefit its interests at the expense of the other, it will find itself on a dangerous path. A temporary gain to one will undermine the long term prosperity of both.”[3]

Dengan demikian diperlukan harmoni benefit dari perusahaan baik bagi shareholder maupun masyarakat.

Dari paparan di atas bisa terlihat bahwa secara ideal haruslah tercipta hubungan dimana apabila perusahaan semakin banyak melakukan CSR (dan ini dibuktikan melalui di-disclose-nya kegiatan CSR dalam Annual Report), semakin rendah pula Tax Avoidance yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Terkait hal ini, beragam penelitian telah dilakukan dan hasilnya beraneka macam pula. Hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif antara pembayaran pajak dengan CSR adalah penelitian oleh Lanis and Richardson (2011, 2013, 2015). Penelitian mereka menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat aktivitas CSR sebuah perusahaan maka semakin rendah tingkat agresivitas pajaknya[4] Penjelasan dari kesimpulan di atas adalah bahwa terkait kewajiban CSR, perusahaan seharusnya membayar pajak secara wajar sesuai hukum di negara manapun perusahaan beroperasi. Tax Avoidance dianggap oleh masyarakat sebagai tindakan tidak bertanggung jawab secara sosial (socially irresponsible) dan merupakan aktivitas yang tidak berlegitimasi[5]. Hal ini karena perusahaan dilihat masyarakat sebagai entitas yang tidak membayar pajak secara fair kepada pemerintah dan dengan demikian tidak membantu pembiayaan barang publik. Penelitian yang menghasilkan kesimpulan berlawanan dengan kesimpulan di atas dilakukan oleh Lutz Preuss dalam jurnalnya berjudul “Tax avoidance and corporate social responsibility: you can’t do both, or can you?”. Dalam penelitiannya yang menggunakan sampel perusahaan-perusahaan yang berdomisili di negara-negara tax haven yang memiliki tarif pajak rendah bahkan sampai 0%, secara mengejutkan terbukti melakukan CSR dengan baik[6]. Contoh hubungan negatif CSR-Tax Avoidance juga ditunjukan di Indonesia dimana Asian Agri, perusahaan yang mendapat penghargaan CSR Awards di tahun 2014, terbukti melakukan tax avoidance secara agresif (bahkan cenderung melakukan tax evasion) dengan cara melakukan transfer pricing yang terperinci dan sistematis sebagaimana tertera dalam dokumen mereka yang berjudul “AAA-Cross Border Tax Planning (Under Pricing of Export Sales” . Hal ini mereka lakukan dengan cara menjual produk minyak sawit mentah (crude palm oil) dalam harga di bawah market price kepada perusahaan afiliasi di luar negeri untuk dijual kembali dengan harga lebih tinggi kepada pembeli real.

 Menanggapi kausalitas negatif ini, sebenarnya bisa ditandingkan dengan hasil penelitian Luke Watson yang dituangkan dalam jurnal berjudul “Corporate Social Responsibility, Tax Avoidance, and Earnings Performance”. Konklusi yang berhasil didapat oleh Luke setelah melakukan penelitiannya adalah rendahnya social responsibility yang berimbas pada meningkatnya tax avoidance hanya berlaku apabila perusahaan memiliki earning performance yang rendah baik di saat itu maupun peramalan di masa mendatang[7] Apabila perusahaan memiliki earning performance yang baik sehingga mampu untuk membiayai pajak sekaligus CSR nya, hubungan yang terjadi adalah hubungan yang positif sebagaimana dijelaskan dalam penelitian-penelitian di awal. Sehingga bisa saja, Asian Agri yang memiliki hubungan negatif atau perusahaan-perusahaan lain bukan karena semata-semata kaena mereka melakukan CSR secara aktif sehingga semakin agresif dalam melakukan tax avoidance akan tetapi karena memiliki earning performance yang kurang baik. Dengan demikian, standing position saya disini adalah bukan lebih memilih CSR atau Tax Avoidance yang terbukti bukanlah sebuah buah simalakama akan tetapi kondisi dimana menguntungkan masyarakat sekaligus menguntungkan negara dalam hal ini dilakukan oleh DJP dalam rangka menghimpun penerimaan perpajakan yaitu perusahaan tetap meningkatkan CSR mereka agar bermanfaat bagi masyarakat sebagaimana legitimate theory di atas adapun kausalitas negatif yang timbul berupa meningkatnya agresifitas tax avoidance dihadapi dengan perbaikan earning performance. Dari sisi pemerintah, misalnya bisa saja dikontrol melalui penerbitan undang-undang yang memaksa perusahaan melakukan governance yang baik  undang-undang pemudahan investasi dan perizinan, atau undang-undang lain sejenisnya.

 Referensi:

[1] Gunawan, J., Djajadikerta, H.G., & Smith, M. (2009). An Examination of Corporate Social Disclosures in the Annual Reports of Indonesian Listed Companies.     Asia Pacific Centre for Environmental Accountability Journal, Vo. 15(No. 1), pp. 13-36
[2] Avi-Yonah, R.S. (2008), “Corporate social responsibility and strategic tax behavior”, in Scho ¨n, W. (Ed.), Tax and Corporate Governance, Springer-Verlag, Berlin and Heidelberg.
[3] Porter, M. E., & Kramer, M. R. (2006). Strategy and society: The linkbetween competitive advantage and corporate social responsibility. Harvard Business Review, 84(12), 78–92.
[4] Lanis, Roman, & Richardson, Grant. (2011). Corporate Social Responsibility and Tax Aggresiveness: An Empirical Analysis. J. Account. Public Policy
   Lanis, Roman, & Richardson, Grant. (2013 Corporate social responsibility and tax aggressiveness: a test of legitimacy theory. J. Accounting, Audit, and   Accountability. Emerald Group Publishing Limited
   Lanis, Roman, & Richardson, Grant. (2015). Is Corporate Social Responsibility Performance Associated with Tax Avoidance?.J. Bush Ethics.
[5] Lanis, Roman, & Richardson, Grant. (2011). Corporate Social Responsibility and Tax Aggresiveness: An Empirical Analysis. J. Account. Public Policy
[6] Preus, Lutz. (2015). Tax avoidance and corporate social responsibility: you can’t do both,or can you?. Corporate Governance: The international journal of business in society. Emerald Group Publishing Limited
[7] Watson, Luke.(2015) Corporate Social Responsibility, Tax Avoidance, and Earnings Performance. Journal of the American Taxation Association. University of Florida
Posted in Uncategorized | Leave a comment

Sandera Badanku Bang, agar Pajak Negeriku Naik…

Oleh: Sholehudin Adi Nugroho/ Mahasiswa PKN STAN 2016

joker-di-balik-penjara

 

SC  (inisial nama seseorang) tidak mengira ketika dirinya tengah bersantai tiba-tiba ia harus disendera oleh Direktorat Jenderal Pajak. Hal yang nyaris tidak pernah dilakukan oleh negeri ini. Usut punya usut ternyata
SC merupakan WNI yang tercatat sebagai penanggung pajak PT GDP, sebuah perusahaan Penanaman Modal Asing yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing Tiga (PMA 3). Tunggakan pajak yang belum dibayarkan SC adalah sebesar Rp6 miliar selama 5 tahun. Satu pekan berikutnya, giliran 7 pengemplang pajak di Surabaya yang dibui, dengan tunggakan pajak Rp8,12 miliar. Secara total, Ditjen Pajak telah mengidentifikasi 31 penunggak pajak segera dilakukan eksekusi gijzeling.[1]

 

Eva Hofmann, Katharina Gangl, Erich Kirchler, & Jennifer Stark dalam jurnalnya yang berjudul Enhancing Tax Compliance Through Coercive and Legitimate Power Of Authorities menyatakan bahwa terdapat dua power atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi seseorang akan bermaksud membayarkan pajaknya secara jujur atau tidak atau dengan kata lain disebut kepatuhan wajib pajak. Dua power tersebut adalah coercive power dan legitimate power[2]. Coercive power dilakukan dengan cara-cara baik yang positif maupun negatif. Dalam Direktorat Jenderal Pajak, coersive power yang negatif bisa dicontohkan melalui adanya sanksi keterlambatan penyampaian SPT, pembayaran pajak, gijzeling, penyitaan, dan pencekalan adapun coersive power yang positif bisa berupa benefit keberatan dan banding yang dilakukan wajib pajak. Power atau kekuasaan yang kedua adalah legitimate power. Berbeda dengan coercive power, power semacam ini dibangun melalui cara-cara seperti peningkatan kewibawaan Direktorat Jenderal Pajak, peningkatan kemampuan perpajakan fiskus, keterbukaan informasi organisasi, dan masifnya sosialisasi perpajakan.

Tahun penegakan Hukum telah dicanangkan Direktorat Jenderal Pajak, dan salah satu fitur yang menjadi buah bibir di kalangan masyarakat adalah tindakan Gijzeling atau penyanderaan badan yang ternayata berani dijalankan oleh Direktorat ini sebagaimana disebutkan di awal tadi. Gijzeling adalah salah satu langkah yang dijalankan dalam rangka menjalankan coercive power. Sebenarnya, apakah yang dimaksud dengan Gijzeling itu sendiri?

Kebijakan pemberlakuan lembaga sandera (gijzeling) oleh Direktorat Jenderal Pajak terhadap wajib pajak/ penanggung pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan adalah merupakan salah satu upaya dalam penagihan pajak dan meningkatkan law enforcement dalam rangka meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Dasar hukum pelaksanaan sandera bagi wajib pajak/ penanggung pajak adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Tempat dan Tata Cara Penyanderaan, Rehabilitasi Nama Baik Penanggung Pajak, Dan Pemberian Ganti Rugi Dalam Rangka Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa[3]

Gijzeling dalam implementasinya terbukti efektif dalam rangka meningkatkan penerimaan negara. Hal ini terbukti berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Dadang Suwarna selaku Direktur Pemeriksaan dan Penagihan Ditjen Pajak bahwa ketika tercatat ada 9 (sembilan) wajib pajak yang menunggak pajak sekitar 12 Milyar dan wajib pajak tersebut di-Gijzeling, maka wajib pajak tersebut langsung membayarkan kekurangan pajaknya dengan jumlah 7, 8 Milyar Rupiah. Gijzeling ini memang dilakukan untuk memposisikan negara sebagai prioritas pertama ketika wajib pajak orang pribadi maupun badan memiliki hutang yang harus diselesaikan.[4]

Dalam dunia ilmiah pun pelaksanaan GIjzeling memberikan pengaruh positif bagi penerimaan perpajakan sebagimana dituangkan dalam jurnal ilmiah berjudul “Taxes, Prisons, and CFOs: The Effects of Increased Punishment on Corporate Tax Compliance in Ecuador”. Mengambil sampling di negara Ecuador peneliti dari Colombia University menemukan hubungan positif antara hukuman pemenjaraan (Prison) dengan penerimaan perpajakan [5]Walau begitu, tak semuanya menghasilkan temuan seperti itu. Tesis yang diajukan Mulyatsih Wahyumurti,SH menengarai adanya hubungan yang justru negatif. Hal ini bisa saja terjadi ketika Gijzeling dilakukan tanpa kaidah dan peraturan yang seharusnya sehingga menimbulkan antipati masyarakat[6].

Referensi:

[1] http://www.kemenkeu.go.id/Artikel/menggenjot-penerimaan-pajak-melalui-gijzeling
[2] Eva Hofmann, Katharina Gangl, Erich Kirchler,dan Jennifer Stark , “Enhancing Tax Compliance Through Coercive and Legitimate Power Of Authorities”
[3] Mulyatsih Wahyumurti,SH (2005). Pengaruh Lembaga Sandera (Gijzeling) Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak/ Penanggung Pajak. Universitas Diponegoro: Tesis
[4] Inside, Edisi 27 2015. hal.12
[5] Gabriela Aparicio,Paul Carrillo, dan M. Shahe Emran (2011). axes, Prisons, and CFOs: The Effects of Increased Punishment on Corporate Tax Compliance in Ecuador.AEA Meetings
[6] Mulyatsih Wahyumurti,SH (2005). Pengaruh Lembaga Sandera (Gijzeling) Terhadap
Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak/ Penanggung Pajak. Universitas Diponegoro: Tesis
Posted in Uncategorized | Leave a comment

Derivatif dan Penghindaran Pajak yang Jarang Dipergunjingkan

oleh: Sholehudin Adi Nugroho/ PKN STAN  2016

 

o_1a3vsbpb11et2nkjcmv10ev1ne9rsumber:http://www.suara.com/bisnis/2016/02/01/213042/bei-resmi-reaktivasi-produk-derivatif-lq-45-futures

 

“The 900-pound gorilla in all the corporate tax shelter discussion – that practitioners do not want to talk about and the Treasury report mentions only obliquely – is derivatives… Derivatives turbo charge tax shelters.” – Sheppard (1999)

 

Ungkapan di atas adalah merupakan suatu bentuk ekspresi bahwa derivatif bukanlah merupakan tema populer yang ingin dibicarakan dalam dunia perpajakan. Dalam banyak sekali diskusi perpajakan(sampai banyaknya diibaratkan sebagaimana Gorila 900 pon) praktisi maupun  pemerintah tidak menginginkan pembicaraan mengenai derivatif. Sebenarnya apakah derivatif itu sendiri? dan kemudian aspek pajak manakah yang jamak diakitkan dengan derivatif ?

Menjawab pertanyaan di atas, mula-mula akan dijelaskan derivatif. Donohoe (2011)  menyebutkab secara singkat sebagai berikut:

“any security deriving its value from one or more primitive securities could be referred to as a derivative”

Adapun penjelasan yang komprehensif, sebagimana dijelaskan oleh Stulz (2004)

 “financial contract or security deriving its value based on its relationship to something else, typically referred to as the underlying). The underlying is often another financial instrument (i.e., primitive security) or economic good (i.e., commodity), but can be almost anything. For example, derivatives exist where the value is based on the S&P 500 index, the price of oil and fertilizer, the amount of frost in Florida, and even other derivative instruments’

Dengan demikian, secara singkat derivatif itu sendiri adalah suatu sekuritas yang berhubungan dengan sesuatu yang menjadi underlying (yang menjadi dasar). Dasar disini bisa itu instrumen keuangan atau komoditas ekonomi. Sebagai contoh, apabila kita menilik dalam laporan keuangan suatu perusahaan, derivatif dapat terlihat dalam CALK nya (catatan atas laporan keuangan) secara umum meliputi Future, Option, atau Swap walaupun seiring perkembangan kreatifitas dalam produk-produk keuangan, derivatif ini bisa saja diturunkan kembali ataupun dicampuradukan antara ketiga komponen di atas.

Beranjak pada pertanyaan selanjutnya tentang aspek yang seringkali berhubungan dengan derivatif adalah perusahaan menggunakan derivatif dalam rangka me-maintain inherent risk nya maupun untuk manajemen cash flow. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dwi Martani dan Oktavia (2013) maupun Danahoe (2011). Dalam penelitian mereka juga disebutkan selain kedua hal terpuji yang dilakukan di atas, penggunaan derivatif juga erat kaitannya (walaupun tak seerat fungsi sebelumnya) terhadap aspek perpajakan khususnya tax avoidance.

Hasil penelitian Danahoe maupun Dwi Martani menyebutkan bahwa penggunaan derivatif berhubungan positif dengan tax avoidance yang dilakukan suatu negara. Penggunaan derivatif yang mana karena rumit sehingga sukar terdeteksi serta risiko yang berhasil dimaintain dengan baik sehingga mengurangi volatile daripada cash flow dan income menyebabkan tarif pajak efektif (ETR-Effective Tax Rate) dapat menjadi rendah jika dibandingkan apabila derivatif tidak digunakan. penghindaran ini semakin besar apabila perusahaan tersebut tidak terbuka dalam mengungkapkan transaksi derivatif tersebut dalam laporan..keuangannya.

Perbedaan antara penelitian Danahoe dengan Dwi Martani adalah, Danahoe melakukan penelitian tersebut dengan objek pajak di negara Amerika Serikat adapaun Dwi Martani melakukannya di Indonesia. Danahoe secara garis besar menyimpulkan bahwa ini semua terjadi karena otoritas pajak Amerika memiliki ambiguitas peraturan terhadap penerapan perpajakan derivatif adapaun Dwi Martani menyebutkan bahwa ini terjadi karena pemerintah Indonesia bahkan tidak mengatur mengenai transaksi derivatif dalam aspek perpajakan. Sebenarnya hal ini telahlah diatur dalam Pemerintah Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak.Penghasilan.atas.Penghasilan.dari Transaksi Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa akan tetapi dalam uji material yang diajukan oleh Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia dan Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia, tuntutan ini berhasil dikabulkan oleh Mahkamah Agung dan Peraturan Pemerintah ini pun ditarik kembali.

Menutup Essay, maka disimpulkan bahwa memang ada hubungan nyata dan korelasi positif antara penggunaan derivatif dengan tax avoidance yang dilakukan. Dengan demikian, peran pemerintah pada umumnya dan Direktorat Jenderal Pajak secara khususnya haruslah meng-enforce kembali peraturan mengenai derivatif ini agar dapat timbul kembali. Amerika Serikat saja, yang memiliki peraturan mengenai derivatif (walaupun ambigu) masih menyisakan celah untuk tax avoidance akibat derivatif yang semakin hari semakin rumit dan sukar dideteksi aspek perpajakan apalagi kalau kita lepas tangan begitu saja.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Dua Wajah Pelaporan Keuangan

Oleh: Sholehudin Adi Nugroho/ Mahasiswa PKN STAN 2016

 

2facemom-1

sumber:http://buzzingbubs.com/articles/yelling-at-kids-the-two-faces-of-moms

 

Edward Mordake adalah anak seorang bangsawan Inggris di abad ke-19 yang memiliki wajah rupawan.  Sekalipun begitu, Edward memiliki dua wajah, literally dua wajah. Wajah bagian depan berfungsi normal sedangkan wajah bagian belakangnya hanya bisa tersenyum, namun tidak bisa berbicara ataupun makan. Pada akhirnya, karena frustasi atas kondisinya, Edward pun memutuskan untuk melakukan bunuh diri di usainya yang baru 23 Tahun. Kasus anomali seperti ini tidak hanya terjadi pada wajah manusia, kasus serupa pun dapat pula terjadi pada laporan keuangan suatu perusahaan.

Dalam konsep pelaporan keuangan dan kemudian dihubungkan dengan pajak dan pemegang saham, terdapat dua konsep yang amat terkenal yaitu Agressive Financial Reporting dan Agressive Tax Reporting. Mary Margaret Frank dalam artikelnya  berjudul Tax Reporting Aggressiveness and Its Relation to Aggressive Financial Reporting mendefinisikan keduanya sebagai berikut:

“aggressive financial reporting as upward earnings management that may or may not be within the confines of generally accepted accounting principles (GAAP) and aggressive tax reporting as downward manipulation of taxable income through tax planning that may or may not be considered fraudulent tax evasion”

Dengan demikian, muka dua dalam laporan keuangan disini adalah jumlah yang berbeda antara yang dilaporkan untuk pemegang saham, yaitu berusaha menaikan pendapatan semaksimal mungkin (Agressive Financial Reporting) akan tetapi disisi lain dalam laporan keuangan tahun yang sama, penghasilan yang dilaporkan juga diusahakan dilaporkan seminimal mungkin demi kepentingan perpajakannya (Agressive Tax Reporting).

Apakah hal ini merupakan Fraud? baik Agressive Financial Reporting maupun Agressive Tax Reporting, berdasarkan definisi di atas dapat dilakukan dengan atau tanpa menggunakan standar yang berlaku. Untuk Agressive Financial Reporting, standar yang berlaku tentu saja adalah PSAK dan untuk Agressive Tax Reporting standar yang berlaku adalah ketentuan perpajakan. Kedua standar in mempunyai beberapa perbedaan prinsip dan mendasar dan juga keduanya juga memiliki loophole yang bisa digunakan oleh manajemen untuk membuat laporan keuangan sesuai tujuan. Contoh dalam hal ini adalah kasus Panama Paper yang sedang santer terdengar. Karena hal ini mengikuti standar dan ketentuan yang berlaku, tentu saja hal ini bukanlah fraud. Lain cerita apabila setelah diaudit, ternyata ada treatment Akuntansi yang dilakukan manajeman yang menyalahi standar yang ada. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa baik Agressive Financial Reporting maupun Agressive Tax Reporting belum tentu merupakan suatu fraud.

Hal yang menarik adalah, walaupun antara Agressive Financial Reporting maupun Agressive Tax Reporting menuju pada tujuan yang berbeda yaitu yang satu agar penghasilan dapat dimaksimalkan dan satunya lagi sebaliknya, dua jenis pelaporan ini memiliki suatu hubungan. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Wendy Heltzer dan timnya (The relation between aggressive financial reporting and aggressive tax reporting: Evidence from ex-Arthur Andersen clients) lalu Mary Margaret Frank (Does Aggressive Financial Reporting Accompany Aggressive Tax Reporting) memberikan kesimpulan yang sama bahwa semakin agresif praktik Aggressive Financial Reporting, diikuti semakin agresif pula Aggressive Tax Reporting.

Untuk menanggulangi hal ini, haruslah ada solusi baik dari sisi Agressive Financial Reporting maupun Agressive Tax Reporting. Mengkriminalkan pelaku keduanya adalah tindakan yang kontraproduktif karena apa yang manajemen lakukan belum tentu melanggar ketentuan. Alih-alih, harus ada penyempurnaan peraturan untuk mengurangi loophole peraturan baik dari legislator maupun DIrektorat Jenderal Pajak terkait perundang-undangan Perpajakan dan juga penyempurnaan oleh  organisai Ikatan Akuntan Indonesia yang menaungi akuntan dan berperan dalam merumuskan PSAK.

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Suguhan Kebuasan atau Belai Lemah Lembut Fiskus untuk Anda?

 oleh: Sholehudin A.N./ Mahasiswa PKN STAN 2016
 gambar-hewan-buas sumber: http://www.satwapedia.com/15-hewan-buas-paling-berbahaya-di-dunia/

 

The Ferme Générale adalah sebuah badan pengumpul pajak di Kerajaan Prancis sebelum meletusnya Revolusi Prancis Abad 18. Badan ini dikenal memungut pajak dengan cara-cara brutal, perhitungan pajak yang tidak fair, dan memasukan biaya tambahan dalam pajak yang mana uang tersebut tidak masuk ke dalam kas negara. Selepas Revolusi Prancis terjadi dengan dipancungnya Raja Prancis saat itu yaitu Louis XVI, ternyata para anggota dari The Ferme générale ini yang berjumlah 27 orang juga tidak bisa menyelamatkan kepala mereka dari tebasan kapak guillotine sekalipun salah satu anggota mereka, yaitu Antoine Lavoisier merupakan kimiawan yang jasanya amat besar bagi peradaban manusia. Berkaca pada peristiwa di atas, lantas apakah pendekatan pemungutan pajak dengan cara-cara paksaan (coercive) masih tepat diterapkan di Indonesia dengan risiko suatu saat para pegawai pengumpulnya (fiskus) dapat kehilangan kepala apabila terjadi revolusi misalnya ataukah Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi penghimpun pajak di negara ini harus melembek dalam aksinya?

Eva Hofmann, Katharina Gangl, Erich Kirchler, & Jennifer Stark dalam jurnalnya yang berjudul Enhancing Tax Compliance Through Coercive and Legitimate Power Of Authorities menyatakan bahwa terdapat dua power atau kekuasaan yang dapat mempengaruhi seseorang akan bermaksud membayarkan pajaknya secara jujur atau tidak atau dengan kata lain disebut kepatuhan wajib pajak. Dua power tersebut adalah coercive power dan legitimate power[1]. Coercive power dilakukan dengan cara-cara baik yang positif maupun negatif. Dalam Direktorat Jenderal Pajak, coersive power yang negatif bisa dicontohkan melalui adanya sanksi keterlambatan penyampaian SPT, pembayaran pajak, gijzeling, penyitaan, dan pencekalan adapun coersive power yang positif bisa berupa benefit keberatan dan banding yang dilakukan wajib pajak. Power atau kekuasaan yang kedua adalah legitimate power. Berbeda dengan coercive power, power semacam ini dibangun melalui cara-cara seperti peningkatan kewibawaan Direktorat Jenderal Pajak, peningkatan kemampuan perpajakan fiskus, keterbukaan informasi organisasi, dan masifnya sosialisasi perpajakan.

Kepatuhan Wajib Pajak di Indonesia masih rendah. Sebagaimana diungkapkan oleh Sigit Priadi Pramudito, sebagai Dirjen Pajak Periode 2015 bahwa tax ratio merupakan indikator  kepatuhan wajib pajak dalam suatu negara dan Indonesia memiliki tax ratio hanya 11%. Visi Direktorat Jenderal Pajak adalah “Menjadi institusi pemerintah penghimpun pajak negara yang terbaik di wilayah Asia Tenggara” sehingga “kompetitor” organisasi ini adalah negara-negara tetangganya. Fakta menunjukan tax ratio Indonesia yang 11 % ini jauh tertinggal dibanding Thailand (18%), Malaysia (16%) maupun Singapura (14%). Lantas, coercive power ataukah legitimate power yang harus diandalkan dalam rangka mendongkrak kepatuhan wajib pajak? Coercive power yang bersifat paksaan, terbukti dalam berbagai penelitian, dapat meningkatkan kepatuhan wajib pajak  walaupun kepatuhan ini bukanlah jenis kepatuhan yang voluntary (sukarela) akan tetapi dilakukan karena terpaksa. Dengan demikian, kepatuhan semacam ini masih membuka celah bagi wajib pajak untuk melakukan penggelapan pajak apabila hal itu menguntungkan. Lagipula, apabila coercive power dijadikan andalan dalam peningkatan kepatuhan wajib pajak, akan menimbulkan beban biaya yang besar karena penyelenggaraan pemeriksaan pajak, usaha penyitaan maupun usah paksaan yang lain bukanlah hal yang murah. Kemudian, coersive power juga menimbulkan pertentangan yang makin meruncing antara fiskus dan wajib pajak akibat pendekatan yang bersifat “Cop-Robbers” [2] dan lagi, coercive power merusak implicit trust[3]. Implisit Trust adalah kepercayaan yang terbangun antara wajib pajak dengan fiskus secara tak sadar dan otomatis yang mana lahir dari anggapan bahwa membayar pajak adalah sebuah kewajiban moral [4].  Jikalau pendekatan dengan coersive power walau efektif mendongkrak kepatuhan wajib pajak akan tetapi memiliki eksternalitas yang besar ditinggalkan, maka yang tersisa adalah power selanjutnya yaitu legitimate power. Legitimate power bisa dikatakan memiliki power yang lebih “lembek” daripada coersive power akan tetapi power ini memiliki output kepatuhan yang sifatnya voluntary (sukarela) jika dibandingkan power sebelumnya. Lagipula, legitimate power mengubah hubungan antara wajib pajak-fiskus yang berupa “cop-robbers” menjadi “service-client[5] yang lebih damai dan melayani sehingga hubungan kurang baik antara wajib pajak dan fiskus yang selama ini didengung-dengungkan akan terkikis dengan sendirinya. kemudian, power semacam ini juga akan meningkatkan reason-based trust yaitu kepercayaan yang timbul dari pikir-rasional wajib pajak karena melihat kesamaan tujuan antara wajib pajak dan fiskus yaitu fiskus memang ingin mengumpulkan pajak dari masyarakat demi kesejahteraan masyarakat itu sendiri bukan karena hal yang lain seperti ingin dikorupsi misal .Lantas, kenapa praktik yang ada di berbagai belahan dunia kebanyakan condong pada coercive power daripada legitimate power ? hal ini karena legitimate power pun jika dipraktikan mentah-mentah memiliki kekurangan. legitimate power kurang mampu menjamin kepatuhan wajib pajak dan lemah dalam mengatasi free rider yang ada dalam penggunaan uang hasil perpajakan [6]. Akibatnya, wajib pajak patuh kurang bisa dilindungi hak-haknya yang seharusnya ia peroleh karena ada sebagian haknya yang turut dinikmati oleh free rider.

Kemudian, penelitian yang dilakukan oleh Eva Hofmann, Katharina Gangl, Erich Kirchler, dan Jennifer Stark dan dituangkan dalam jurnal berjudul “Enhancing tax compliance through coercive and legitimate power of authorities “ menyebutkan bahwa justru kombinasi antara coercive power dan legitimate power mampu menghasilkan kepatuhan tertinggi jika dibandingkan dengan pendekatan power yang dilakukan terpisah[7] Hal ini karena antara satu power dengan yang lain akan saling akan meniadakan eksternalitas negatif yang ada. Kemudian, dalam penelitian itu juga disebutkan bahwa jika legitimate power lebih mendominasi dibandingkan coercive power, maka hal ini akan memberikan kepatuhan yang lebih tinggi daripada jika komposisinya ditukar.

Dengan demikian, Direktorat Jenderal Pajak haruslah tidak memfokuskan dirinya hanya kepada cara-cara yang bersifat paksaan ataupun cara-cara yang bersifat legitimate power saja. Penegakan hukum, pemeriksaan, penyenderaan, penetapan sanksi haruslah tetap jalan seiring dan dibarengi oleh sosialisasi dan pembinaan wajib pajak sekaligus pencitraan dan peningkatan kemampuan fiskus. Seandainya terdapat keterbatasan sumberdaya baik manusia maupun dana sehingga harus memfokuskan pada salah satu upaya, Direktorat Jenderal Pajak mesti memfokuskan pada usaha-usaha dalam kaitan legitimate power alih-alih kepada cara-cara paksaan sebagimana yang sudah dipaparkan dalam penelitian sebelumnya. Harapannya adalah, bahwa kepatuhan wajib pajak dapat meningkat mencapai titik optimumnya sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan penerimaan perpajakan. Semoga.

 Referensi:

[1] Eva Hofmann, Katharina Gangl, Erich Kirchler,dan Jennifer Stark , “Enhancing Tax Compliance Through Coercive and Legitimate Power Of Authorities”
[2] Erich Kirchler , Erik Hoelzl, dan Ingrid Wahl, “Enforced versus Voluntary Tax Compliance: The ‘‘slippery slope’’ Framework” Journal of Economic Psycology 29, (2008), 210-225
[3] Gangl, K., Hofmann, E., Pollai, M., & Kirchler, E, ”Managing tax climates: The interaction of power and trust in the “Slippery Slope Framework”. SSRN Working Paper 2024946, (2012)
[4] Katharina Gangl, Stephan Muehlbacher, Manon de Groot, Sjoerd Goslinga, Eva Hofmann, Christoph Kogler, Gerrit Antonides, dan Erich Kirchler, ‘‘How can I help you?’’ Perceived Service Orientationof Tax Authorities and Tax Compliance”, Public Finance Analysis vol. 69 no. 4 (2013)
[5] Erich Kirchler , Erik Hoelzl, dan Ingrid Wahl, “Enforced versus Voluntary Tax Compliance: The ‘‘slippery slope’’ Framework” Journal of Economic Psycology 29, (2008), 210-225
[6] Eva Hofmann, Katharina Gangl, Erich Kirchler,dan Jennifer Stark , “Enhancing Tax Compliance Through Coercive and Legitimate Power Of Authorities

Posted in Uncategorized | Leave a comment

Pajak Penghasilan untuk Badan yang Makin Mencekik atau……

Sholehudin Adi Nugroho/ Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN 2016

asas

sumber: http://snarkfinance.com/2013-federal-income-tax-rates-calculating-your-effective-tax-rate/

 

Salah satu kebijakan besar dan menjadi prioritas awal oleh Presiden Barrack Obama ketika terpilih kembali menjadi Presiden Ameriksa Serikat di tahun 2012 adalah menaikan tarif pajak, termasuk di dalamnya tarif pajak penghasilan bagi badan (perusahaan) menjadi sebesar 40 %[1]. Hal ini semata-semata dilakukan demi peningkatan penerimaan negara dari sektor perpajakan. Lain di Amerika Serikat, lain pula di Indonesia. Walaupun, sama-sama bertujuan untuk meningkatkan penerimaan perpajakan, tindakan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia yang jika ditarik beberapa tahun ke belakang yaitu mulai dari tarif 28 % (tahun 2009), kemudian turun kembali menjadi 25% (tahun 2010) dan bahkan untuk tahun ini , di era pemerintahan Presiden Joko Widodo sempat mengemuka wacana untuk menurunkan kembali tarif pajak menjadi 18%[2] justru menunjukan trend penurunan tarif. Mengingat baik Amerika Serikat maupun Indonesia memiliki goal yang sama, sebenarnya treatment apakah yang sebenarnya paling tepat, menaikan tarif atau menurunkan tarif pajak penghasilan badan?

Menjawab pertanyaan ini, terdapat beberapa riset yang telah dilakukan oleh beberapa akademisi. Mihir A. Desai, Alexander Dyck , serta Luigi Zingales berusaha menganalisis interaksi antara besarnya tarif PPh Badan dengan tata kelola suatu perusahaan. Dalam penelitian mereka yang dituangkan dalam jurnal berjudul “Theft and Taxes” menyebutkan bahwa peningkatan tax rate hanya akan berkorelasi positif terhadap penerimaan perpajakan jika dan hanya jika perusahaan tersebut memilki tata kelola yang baik[3]. Apabila perusahaan memiliki tata kelola yang buruk ditandai dengan semakin mudahnya manajemen melakukan penyelewengan pendapatan, residual claymants, dan meninggikan insentif mereka dalam rangka tax avoidance, dalam hal ini pihak yang dirugikan tidak hanya pemerintah akan tetapi juga shareholder yang terkena dampak pelaporan keuntungan yang lebih kecil dari seharusnya sehingga dividen bagi mereka pun mengecil. Kerugian yang diderita oleh shareholder ini juga berhasil dibuktikan pula oleh penelitian Mihir A. Desai dan rekannya bernama Dhammika Dharmapala bahwa, tak sesuai dengan anggapan umum yaitu tax avoidance (yang salah satunya dilakukan melalui peninggian insentif tadi)  yang dikatakan merepresentasikan transfer nilai dari perusahaan ke shareholder, anggapan ini sebenarnya tidaklah valid dan hanya menguntungkan manajemen saja[4]. Celakanya adalah kausalitas antara tax-rate dengan tata kelola perusahaan ini sifatnya dua arah. selain hal yang telah dijelaskan di atas, adanya peningkatan tax rate mengakibatkan pula memburuknya tata kelola korporasi perusahaan.

Masih dalam penelitian Desai, ternyata hubungan tax rate dengan dengan tata kelola ini tercakup pula baik tata kelola perusahaan meupun tata kelola negara sebagaimana pernyataan mereka:

“We find that corporate tax rates have a lower impact on tax revenues in countries characterized    by weaker corporate governance. In particular, the empirical estimates suggest that corporate tax rate increases lead to corporate tax revenue increases only in countries with very strong corporate governance.”[5]

Dengan demikian, hal ini mungkin bisa menjadi jawaban bahwa kenapa Amerika Serikat yang memiliki tata kelola yang lebih bagus menaikan tarif pajak penghasilannya adapun Indonesia cenderung melakukan penurunan tarif pajak penghasilan badannya walaupun pernyataan ini haruslah diteliti lebih mendetail.

Memasukan penelitian Desai dan rekannya dalam rangka menganalisis pengaruh corporate  tax rate dengan penerimaan perpajakan tidak lengkap rasanya apabila tidak memasukan penelitian oleh Michelle Hanlon, Jeffrey L. Hoopes, dan Nemit Shroff (“The Effect of Tax Authority Monitoring and Enforcement on Financial Repor     ting Quality”) karena keduanya saling terkait dan berhubungan. Desai menyatakan bahwa tata kelola yang disebutkan tadi bisa diperbaiki sehingga adanya peningkatan tax rate dapat berkorelasi positif dengan peningkatan penerimaan perpajakan. Tata kelola ini diperbaiki melalui suatu usaha tax enforcement. Tax Enforcement ini dilakukan oleh pemerintah karena pemerintah dipandang sebagai shareholder pula yaitu pihak yang berkepentingan atas bagian dari keuntungan perusahaan[6] dan aksi atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah tidak menghasilkan freerider, karena jika tindakan pengawasan ini dilakukan oleh shareholder lain akan terdapat shareholder yang tidak melakukan enforce akan tetapi ikut menikmati keuntungan pula berupa tata kelola yang lebih baik 2. Pertanyaan selanjutnya adalah, kenapa tax enforcement bisa memperbaiki tata kelola? Ternyata, menurut Hanlon dan rekan-rekannya karena tax enforcements bisa meningkatkan kualitas laporan keuangan dan perbaikan ini akan semakin kuat apabila dalam perusahaan itu sendiri belum terdapat mekanisme kontrol internal baik dari investor maupun shareholder yang memadai untuk membendung perilaku negatif tadi.3 Lebih lanjut,  dengan semakin baiknya kualitas laporan keuangan akan mengilangkan adanya information asymmetri dan mereduksi cost of capital [7](Guedhami and Pittman (2008) and El Ghoul et al. (2011)). Cost of capital yang tinggi misalnya timbul akibat insentif manajemen yang terlalu tinggi.

Menutup essay ini dan mendasarkan pada hasil-hasil penelitian di atas, yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia harusnya bukan melulu melakukan perubahan demi perubahan pada tariff pajak penghasilan badan, akan tetapi yang lebih penting adalah melakukan perbaikan tata kelola korporasi dan peningkatan kualitas tax enforce baik itu melalui penyitaan, pemeriksaan dan penyidikan pajak yang menyeluruh, penyanderaan maupun usaha-usaha enforce lain.

Referensi:

[1]http://dailysignal.com/2015/03/31/why-higher-tax-rates-dont-necessarily-mean-more-revenue/
[2]http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20150925193209-78-81013/pemerintah-akan-turunkan-pph-badan-dari-25-jadi-18/
[3] Mihir A. Desai, Alexander Dyck , dan Luigi Zingales (2006). “Theft and Taxes”. Journal of Financial Economics: Elsevier Science B.V
[4] Mihir A. Desai, dan Dhammika Dharmapala (2009). “Earnings Management, Corporate Tax Shelters, and Book–Tax Alignment”. National Tax Journal
[5] Mihir A. Desai, Alexander Dyck , dan Luigi Zingales (2006). “Theft and Taxes”. Journal of Financial Economics: Elsevier Science B.V
[6] Michelle Hanlon, Jeffrey L. Hoopes, dan Nemit Shroff.(2007) “The Effect of Tax Authority Monitoring and Enforcement on Financial Reporting Quality”. Journal    of the American Taxation Association
[7] Guedhami, O. and J. Pittman, (2008). The importance of IRS monitoring to debt pricing in privatefirms. Journal of Financial Economics
   El Ghoul, S., O. Guedhami and J. Pittman, 2011. The Role of IRS Monitoring in Equity Pricing in Public Firms. Contemporary Accounting Research, Vol. 28
Posted in Uncategorized | Leave a comment

Kondisi Thin Capitalization di Indonesia beserta Penanggulangannya

Sholehudin Adi Nugroho/ Mahasiswa Politeknik Keuangan Negara STAN

 

130058
sumber: http://www.beritadekho.com/2016/05/10-tahun-tidak-bayar-pajak-menkeu-minta.html

Foreign Direct Investment alias modal asing yang masuk ke Indonesia menunjukan trend peningkatan dari tahun ke tahun, bahkan komitmen investasi pada bulan Januari-Februari di tahun 2016 menembus angka Rp 561 triliun, naik 147,14% dibanding tahun sebelumnya dan biasanya realisasi investasi  sekitar 50% dari komitmen[1]. Walaupun terdapat kenaikan investasi ini tidak serta merta meningkatkan penerimaan perpajakan. Banyak perusahaan yang tidak melaporkan SPT-nya secara benar karena SPT-nya selalu menunjukan kerugian terus menerus walaupun ia masih tetap beroperasi. Mantan Menteri Keuangan yaitu Jusuf Anwar pernah menyatakan terdapat 750 perusahaan PMA melaporkan rugi dan tidak membayar pajak (PPh Badan) berturut-turut selama 5 tahun atau lebih (Jusuf Anwar:2003) disusul pernyataan dari mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yaitu Theo F. Toemion  juga pernah menyatakan bahwa ada sekitar 70% perusahaan PMA tidak membayar pajak karena laporan keuangannya menunjukkan rugi[2]. Sebenarnya, apakah siasat yang dilakukan perusahaan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing tersebut sehingga bisa menunjukan kerugian dalam laporan keuangannya walaupun tetap exist menjalankan operasinya di negara kita?

 Dalam dunia Tax Avoidance, dikenal istilah bernama Thin Capitalization. Definisi dari hal ini adalah thin capitalization merupakan modal terselubung melalui pinjaman yang melampui batas kewajaran. Pinjaman dalam konteks thin capitalization ini adalah pinjaman berupa uang atau modal dari pemegang saham atau pihak-pihak lain yang memiliki hubungan istimewa dengan pihak peminjam[3] Penekanan thin capitalization berada pada pinjaman karena sebagaimana dijelaskan oleh Andreas Haufler dan Marco Runkeld dalam jurnalnya berjudul “Firms’ financial choices and thin capitalization rules under corporate tax competition” yaitu:

“Existing corporate tax systems permit deduction of interest payments from the tax base, whereas equity returns to investors are not tax-deductible. This asymmetric treatment of alternative means of financing investment offers firms a fundamental incentive to increase their reliance on debt finance. For multinational companies this incentive is further strengthened by the opportunity to use internal debt as a means to shift profits from high-tax to low-tax countries”[4]

Dengan demikian, alasan untuk melakukan thin capilaization karena beban bunga merupakan salah satu tool yang digunakan perusahaan PMA untuk mengurangi pajaknya karena undang-undang memperbolehkan beban bunga sebagai deductible expense. Kemudian, liciknya lagi pinjaman ini diberikan oleh perusahaan induk yang berada di headquarter country kepada anak perusahaan yang berada yang berada di host country. Jadi alih-alih memakai sumber pendanaan ekuitas, perusahaan memprioritaskan pendanaan berbasis internal debt demi mereduksi pajak.

Untuk meng-counter hal tersebut Kebijakan yang umum dilakukan oleh pemerintah adalah dengan menetapkan pembatasan debt to-equity ratio (DER)[5]. Pengaturan mengenai batasan bunga utang yang diperbolehkan dikurangkan dari pajak ini biasanya diterapkan untuk pembiayaan induk kepada anak perusahaan di negara lain. Hal ini telah dilakukan oleh beberapa negara maju sebagaimana dijelaskan oleh Tim Edgar, Jonathan Farrar, and Amin Mawani dalam jurnalnya berjudul Foreign Direct Investment, Thin Capitalization, and the Interest Expense Deduction: A Policy Analysis yaitu 5 (lima negara) antara lain Australia, Denmark, Germany, Italy, and New Zealand telah mengundangkan pembatasan yang komprehensif atas  interest expense yang bisa dikurangkan dalam konteks foreign direct investment[6]

Meskipun sekilas pembatasan thin capitalization melalui peraturan yang ketat dapat meminimalkan pergeseran pajak (tax shifting) sehingga dapat mengoptimalkan penerimaan suatu negara akan tetapi semakin ketatnya kebijakan ini mengakibatkan efek berkebalikan dengan jumlah FDI (foreign direct investment) yang masuk ke suatu negara. Hal ini sebagaimana diekspresikan oleh  Andreas Haufler dan Marco Runkel dalam jurnalnya yang lain yaitu Multinationals’ capital structures, thin capitalization rules, and corporate tax competition sebagai berikut:

“………countries indeed set their thin capitalization rules less strictly than they otherwise would, for fear of losing foreign direct investment to other regions” [7]

Lantas, solusi apakah yang paling memadai untuk diterapkan di Indonesia apabila pembatasan thin corporation ini berefek bagaikan buah simalakama, yaitu disatu sisi berusaha mencegah hilangnya potensi pajak akibat penerapan deductible expense yang kurang tepat, akan tetapi disisi yang lain menimbulkan keengganan suatu perusahaan untuk menanamkan modalnya di Indonesia? Baik jurnal oleh Buetnerr dan kawan-kawannya, Andreas Haufler, Marco Runkel, maupun jurnal oleh Tim Edgar, Jonathan Farrar, dan Amin Mawani menyarankan perlunya koordinasi antarnegara untuk melakukan kerjasama dan kesepakatan di bidang Thin Capitalization Restriction. Secara logis memang, apabila semua negara di dunia ini sepakat pada suatu perjanjian Thin Capital Restriction, maka perusahaan-perusahaan PMA tidak akan memasukan pertimbangan kemudahan melakukan tax avoidance (thin capitalization) ke dalam perencanaannya dikarenakan toh semua negara memberlakukan thin capitalization restriction secara seragam dan konsisten, sehingga peran Indonesia di sini adalah turut serta meng-enforce penerapan hal ini secara global baik dalam OECD maupun organisasi ekonomik dunia lainnya karena pada akhirnya Indonesia pulalah yang akan menerima manfaat positif berupa kenaikan investasi asing yang masuk seiring sejalan bersama peningkatan penerimaan perpajakan.

 

[1] http://www2.bkpm.go.id/id/publikasi/detail/berita-investasi/hingga-februari-komitmen-investasi-rp-561-triliun)
[2] https://m.tempo.co/read/news/2002/08/27/05627826/banyak-pma-yang-berupaya-menghindari-pajak)
[3] Roy Rohatgi (2002), Basic International Taxation, London, The Hague, New York: Kluwer Law International
[4] Andreas Haufler and Marco Runkel (2011). Firms’ financial choices and thin capitalization rules under corporate tax competition. European Tax Policy Forum
[5] Thiess Buettner, Michael Overesch, Ulrich Schreiber, and Georg Wamser (2007). The Impact of Thin-Capitalization Rules on Multinationals’ Financing and Investment Decisions. Ifo Institute for Economic Research.
[6] Tim Edgar, Jonathan Farrar, and Amin Mawani (2008). Foreign Direct Investment, Thin Capitalization, and the Interest Expense Deduction: A Policy Analysis). Canadian tax journal. Vol56
[7] Andreas Haufler and(2008) Marco Runkel Multinationals’ capital structures, thin capitalization rules, and corporate tax competition. Europan Tax Policy Forum.
Posted in Uncategorized | Leave a comment